BRUNOTHEBANDIT.COM – 7 Poin Penjelasan Penuh Dadan Hindayana soal MBG Pada titik ledakan kebijakan gizi Indonesia, sosok Dadan Hindayana hadir sebagai pemimpin di Badan Gizi Nasional (BGN). Program Makan Bergizi Gratis (MBG) mulai digulirkan sebagai langkah besar untuk memperbaiki gizi masyarakat terutama anak-anak sekolah di seluruh nusantara. Dalam jumpa pers, ia mengungkap bahwa program telah masuk ke 38 provinsi hanya dalam sekitar satu setengah bulan sejak diluncurkan.
Tantangan langsung yang dihadapi mencakup penyediaan SDM, penyediaan fasilitas yang memadai, serta koordinasi dengan berbagai pihak. Dadan menyebut bahwa meski anggaran telah “selesai secara politik”, urusan human resources dan infrastruktur masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Kecepatan ekspansi menjadi sorotan utama: dalam hitungan minggu program sudah menjangkau banyak wilayah tapi ‘menjangkau’ saja bukan akhir dari tugas. Tantangan kualitas dan kesinambungan segera muncul.
Gaya Kepemimpinan Dadan Hindayana
Hindayana tidak hanya menyampaikan angka; ia memilih pendekatan yang agak berbeda dibanding banyak birokrat. Ia terbuka pada keanekaragaman lokal misalnya, ia mendorong agar menu dalam MBG dapat menyesuaikan dengan bahan lokal seperti serangga atau sagu, tergantung wilayah.
Dengan menyebut bahwa “tidak ada satu menu nasional tunggal”, ia memberi ruang bagi daerah untuk merasa partisipan, bukan sekadar penerima. Sikap ini cukup segar dalam bingkai kebijakan pusat-ke-daerah.
Di sisi operasional, Hindayana juga menekankan perlunya prosedur baku dalam pemilihan mitra dan fasilitas. Ia menyebut bahwa SOP untuk supervisi akan diperinci agar mitra yang “mengerjakan” benar-benar memenuhi standar.
Dengan gaya komunikasi yang terbuka dan target yang ambisius, 7 Poin Dadan Hindayana tampak menggunakan kombinasi visi besar dan pelaksanaan cepat meskipun bukan tanpa risiko.
Ambisi Angka dan Realitas Lapangan
Target yang digalang cukup besar. Hindayana menyampaikan bahwa untuk mencapai target 82,9 juta penerima di akhir 2025, anggaran bisa mencapai Rp116,6 triliun bila skema saat ini terus dipakai.
Namun, realitas lapangan menampilkan variasi pelaksanaan. Misalnya, di salah satu provinsi, anak-anak diberi tas khusus yang harus dikembalikan sebagai bagian dari skema pengurangan sampah dan efisiensi.
Artinya, meskipun angka dan target besar, detail “bagaimana” pelaksanaannya turut menjadi sorotan mulai dari dapur mitra, pengemasan, distribusi hingga monitoring. Dalam banyak wawancara, Hindayana menegaskan bahwa ketiga pilar utama yaitu anggaran, 7 Poin SDM dan infrastrukur harus dikelola bersama agar “skala besar” tidak mengorbankan kualitas.
Peluang Kolaborasi dan Mitra

Dadan Hindayana menekankan bahwa pemerintah tidak bisa sendirian menjalankan program sebesar MBG. 7 Poin Mitra swasta, lembaga masyarakat, hingga perguruan tinggi dilibatkan untuk memperkuat SDM dan jalur distribusi.
Di sisi ini, membuka ruang bagi inovasi lokal menjadi salah satu catatan positif: daerah punya potensi bahan pangan sendiri (seperti serangga, sagu, ikan kecil). Dengan pendekatan “menu boleh berbeda tapi komposisi gizi tetap”,
BGN di bawah Hindayana mencoba menyeimbangkan antara kekayaan lokal dan standar nasional.
Namun, kerja sama ini juga menuntut pengawasan lebih kuat pemilihan mitra yang tepat, 7 Poin fasilitas yang sesuai, serta sistem monitoring yang aktif. Hindayana menyebut bahwa SOP pemilihan mitra dan supervisi sedang disempurnakan.
Kritik dan Pertimbangan Realistis
Ambisi angka besar memunculkan pertanyaan-kritis soal keberlanjutan dan mutu. 7 Poin Bila program hanya “mencapai banyak orang” tanpa memastikan mutu makanan atau distribusi tepat, dampak nyata bisa kurang maksimal.
Beberapa laporan menyebut bahwa di lapangan ditemukan kasus yang harus ditanggapi oleh BGN, seperti dapur mitra yang harus disetop sementara karena klaim keamanan pangan.
Selain itu, variabilitas antar wilayah juga jadi tantangan: bahan baku lokal, budaya makan, kemampuan logistik tiap daerah berbeda. Maka, implementasi “satu ukuran untuk semua” jelas tidak cocok dan Hindayana pun menegaskan perlunya adaptasi regional.
Kesimpulan
Dadan Hindayana membawa program MBG bukan sekadar sebagai label besar, tetapi dengan komponen-komponen yang memang butuh “dipakai”: anggaran, 7 Poin SDM, mitra, fasilitas, dan adaptasi lokal. Kepemimpinannya menunjukkan bahwa kebijakan besar bisa bergerak cepat, tetapi kualitas dan keberlanjutan tidak bisa diabaikan.
Bila semua elemen tersebut berjalan seimbang maupun tantangan masih banyak maka potensi MBG menjadi sangat besar untuk memengaruhi kondisi gizi bangsa.
Di sisi lain, jika salah satu elemen terabaikan, maka hasilnya bisa mirip “cukup sampai sana” tanpa loncatan kualitas yang diharapkan.
Dengan visi yang terbuka dan eksekusi yang semakin pragmatis, Dadan Hindayana menampakkan arah baru dalam kebijakan gizi di Indonesia yang tidak hanya soal anggaran besar, tetapi soal bagaimana membawa perubahan yang terasa nyata di setiap meja makan sekolah.
